Pendidikan merupakan upaya yang
dilakukan untuk mendewasakan manusia. Pendidikan bertujuan untuk membentuk
kepribadian menjadi lebih baik (Pidarta,1997: 2). Salah satunya dengan
menanamkan disiplin. Disiplin berasal dari kata ‘disciple’ yang berarti, orang
yang belajar atau orang yang secara sukarela mengikuti pemimpinnya, dalam hal
ini adalah orang tua dan guru. Bukan berdasarkan paksaan seperti ancaman dan
hukuman. Secara luas disiplin dapat diartikan sebagai pengaruh yang dirancang
untuk membantu anak agar mampu menghadapi tuntutan lingkungan. Dengan kata lain
disiplin adalah cara yang dilakukan masyarakat untuk mengajarkan tingkah laku
yang baik kepada anak agar dapat diterima oleh kelompoknya. Namun pada
kenyataannya disiplin sering dihubungkan dengan hukuman dan sikap keras yang
dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa untuk mendisiplinkan anak. Tidak
jarang orang tua yang memberikan hukuman fisik kepada anak dengan maksud agar
anak secara instan menjadi disiplin. Alasan memberikan hukuman adalah agar anak
menyadari bahwa tidak semua keinginan dapat terpenuhi dan agar perilaku
disiplin tidak mudah berubah.
Anak dapat menjadi dendam dan
membentuk anak memiliki pribadi yang tidak jujur karena takut akan hukuman yang
akan diterima. Disiplin yang diharapkan menjadi bentuk pribadi yang positif
berubah menjadi negatif. Dengan demikian hukuman lebih banyak memberikan dampak
negatif daripada positif, belum lagi jika meninggalkan bekas luka fisik pada
tubuh anak. Disiplin perlu diterapkan sejak dini, karena melalui kebiasaan
untuk disiplin anak dapat mengontrol tingkah lakunya sendiri dan dapat
berkelakuan baik dimanapun dan kapanpun tanpa harus diingatkan. Dengan Selain
itu, disiplin juga akan menyadarkan anak bahwa ia mampu menyelesai-kan
masalah-masalahnya sendiri dan tidak diharuskan melakukan apa yang kita
tentukan, karena anak sudah dapat memilah mana yang baik dan harus dilakukan
serta mana yang tidak baik dan tidak perlu dilakukan. Disiplin juga membantu
anak mengembangkan hati nurani atau suara-suara halus di dalam diri yang
membantunya dalam membuat keputusan dan mengendalikan tingkah lakunya
(Blatchford dan Mani, 2006:15) Namun pada kenyataannya orang tua kurang
konsisten dalam menanamkan disiplin kepada anak dan cenderung lebih memilih
metode instan melalui hukuman. Hal ini justru hanya sebagai solusi sesaat
mendisiplinkan anak bahkan cenderung menjadikan anak memiliki pribadi yang
senang membangkang.
kasus-kasus kekerasan bermunculan
dengan alasan sebagai upaya mendisiplinkan anak. Bahkan di sekolah tidak jarang
terjadi kasus kekerasan seperti menjewer, menjambak, hingga membenturkan kepala
anak (Pungkasari,2014:3). Berdasarkan beberapa permasalahan sebelumnya,
peneliti tertarik untuk mengkaji tentang pemahaman orang tua dan guru tentang
konsep hukuman, dan dampak dari hukuman, serta upaya menanamkan disiplin tanpa
hukuman. Opini ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana menerapkan disiplin
tanpa memberikan hukuman sebagai upaya mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan
melakukan kekerasan pada anak dengan alasan mendidik untuk disiplin. Hukuman
Hukum menurut Tanlain adalah tindakan pendiidikan terhadap anak didik karena
melakukan kesalahan dan dilakukan agar anak didik tidak lagi melakukan
(2006:47). Menurut Thorndike, hukuman adalah memaksakan dampaknya atas perilaku
dengan melemahkan hubungan antara stimulus.
Hukuman merupakan konsekuensi
yang kurang menyenangkan untuk suatu respon perilaku tertentu atau meghilangkan
suatu bentuk penguat yang diinginkan karena respon perilaku tertentu (Woolfolk,
2007:219). Menurut Indrakusuma, hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada
anak secara sadar dan sengaja sehingga memunculkan nestapa sehingga anak
menjadi sadar akan perbuatannya kemudian di dalam hati akan berjanji untuk
tidak mengulangi kembali (2003:46). Dengan demikian hukuman adalah tindakan
yang diberikan oleh pendidik terhadap anak didik yang telah melakukan kesalahan
dengan tujuan agar anak didik tidak akanmengulangi lagi dan akan memperbaiki
keslah yang telah diperbuat. Terdapat beberapa jenis hukuman dalam dunia
pendidikan (Arikunto, 2000:174-175), diantaranya: 1) Penurunan peringkat atau
pengurangan skor : mengurangi skor yang diperoleh ketika melakukan evaluasi
sumatif atau sub sumatif jka siswa melanggar peraturan atau melakukan
kesalahan. 2) Pengurangan hak : siswa tidak memperoleh hak seperti tidak boleh
istirahat atau tidak boleh ke perpustakaan jika melanggar peraturan atau
melakukan kesalahan. 3) Denda : memberikan ganjaran berupa denda seperti
membersihkan kamar mandi sekolah atau menuliskan kalimat tidak akan mengulangi
lagi sebanyak beberapa halaman sesuai konsekuensi yang diberikan guru. 4)
Penahanan sesudah sekolah: tidak beleh pulang sampai beberapa jam sesuai
konsekuensi yang diberikan guru. 5) Memberikan skors : pemberhentian sementara
dari sekolah. 6) Referal (menunjuk) : menunjuk pihak lain untuk menangani
permasalahan siswa seperti guru BK, kepala sekolah, atau psikolog. Berikut
merupakan teknik hukuman dalam dunia pendidikan. Terdapat beberapa syarat
memberikan hukuman (Dewantara, 1977: 45). 1) Harus tetap dalam jalinan cinta
dan kasih sayang, 2) Didasarkan pada alasan keharusan, 3) Menimbulkan kesan di
hati anak, 4) Harus menimbulkan keinsyafan dihati anak, 5) Harus diikuti dengan
pemberian maaf, harapan, dan kepercayaan, Terdapat tiga aturan dalam memberikan
hukuman, diantaranya : harus selaras dengan kesalahan, harus adil, dan harus
segera dijatuhkan jangan ditunda.
Hukuman sebaiknya tidak dilakukan disaat orang tua atau orang dewasa berada dalam pucak kemarahan dan tanpa pertimbangan kondisi dan psikologis anak karena dapat menyebabkan rusaknya hubungan anak dan orang tua sehingga anak menjadi mendendam. Seperti yang dikemukakan oleh Gore (1969:60) bahwa anak-anak tidak boleh dididik dengan paksaan-paksaan yang tidak di-pahami. Tanpa disadari pendidik mengajarkan bahwa kebenaran itu harus dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. Efek negatif dari kekerasan yang diterima anak adalah anak-anak tidak melakukan pelanggaran karena takut dengan pukulan.